Paper Love Story

Menyentuh Langit #cerpen

“Kamu dimana sih?!”, tanya suara perempuan dari seberang telepon di sana.

“Aku masih di kantor”, jawab Langit. Dia menghela nafas berat sembari bertanya, “Ada apa memangnya?”

“Ada apa?! Gak salah kamu ngomong gitu?”

“….”

“Kok diam? Halo?! Halo?!”

“Iya aku denger kamu kok. Maaf kalau aku belum ngabarin kamu. Aku sibuk seharian ini”

“Belum ngabarin? Ini sih namanya bukan ‘belum ngabarin’, tapi ‘gak ngabarin’, Langit!” sahut suara perempuan itu semakin keras. “Kamu terakhir ngehubungin aku dua hari lalu. Dan setelah itu kamu hilang entah kemana. Email, Whatsapp, SMS, bahkan telpon aku gak ada yang kamu balas! Kamu menghindari aku?”

“….”

“Please jangan diam aja, Langit. I beg you. Please. This silence is killing me”, suara perempuan itu mulai tergetar dan terdengar nafasnya mulai tak berirama. Seperti menahan tangis.

“Maaf, Debby. Maaf aku gak ngabarin kamu. Aku memang lagi sangat sibuk. Udah itu aja kok. Gak ada hal lainnya. Tolong mengerti aku”

“….Apa selama ini…. aku kurang sabar? Apa aku kurang mengerti kamu?”

“…. iya iya maaf. Aku akan kabari kamu kalau aku udah di rumah ya”

“Ingat, Langit. Kita punya kesepakatan. Dan kita sepakat menjalaninya bersama. Aku mohon ke kamu…..” suara perempuan itu memelan. “…Aku mohon hargai aku sebagai pasangan kamu”.

“… Iya. Aku ngerti kok…”

“Oke… Let me know when you’re home. Call me”

“I’ll do”

Telepon ditutup.

Langit menarik nafas dalam dan menghelanya perlahan. Dijauhkan handphone nya dari jangkauan tangannya. Dia tampak tidak senang. Dadanya sedikit sesak karena telepon barusan, dan lehernya pun mendadak tegang.

“Bikin makin pusing aja”, ucapnya pelan.

Dia berdiri dan kursinya dan merenggangkan otot-ototnya yang mulai kaku karena terlalu lelah duduk seharian sembari memandang laptop. Dia berjalan melihat sekeliling dan baru menyadari bahwa dia tinggal seorang diri di ruangan. Rekan kantornya sudah sejak tadi pulang satu per satu.

Langit memandang keluar jendela ruang kantor nya. Pemandangan malam Jakarta terlihat jelas dari lantai 31 ini. Lampu dari mobil yang berbaris di kemacetan jalan raya terlihat kelap-kelip seperti menyaingi lampu dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Bagi Langit, meski sudah sangat sering dia melihat pemandangan seperti ini, dia selalu menyukai pemandangan ini. Menurutnya pemandangan ini bisa membantunya untuk merenung dan berpikir. Seperti juga yang sedang dilakukannya malam ini.

“Kayaknya benar yang gue pikirin”, Langit berujar pelan kepada dirinya sendiri. Dia sedang menyuarakan isi kepalanya.

“Mungkin memang keindahan itu gak selamanya untuk ada dekat; atau didekati. Kadang harus diberi jarak. Seperti semua sinar lampu ini. Baru bisa dilihat keindahannya dari kejauhan”, matanya menyapu panorama pemandangan kota malam ini.

“Hening… Damai…”

Langit menghirup napas dalam dan kembali menghelanya perlahan.

“Malah jika terlalu dekat, yang terlihat dan terdengar hanya suara berisik dan permasalahan”


“Kenapa sih kamu susah banget buat hubungin aku?”, ujar perempuan berkacamata dan berambut sebahu yang duduk di meja yang sama dengan Langit. Perempuan itu tampak cantik dengan kemeja berlapis baju hangatnya. Menatap tajam kepada Langit dengan bibir cemberutnya.

“Aku kan udah bilang ke kamu kalau aku lagi sibuk kerjaan akhir-akhir ini”, jawab Langit. Dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa dia berusaha menghindari perdebatan.

Tetiba muncul seorang waiter mengantarkan pesanan. “Permisi. Pesanan Special Blend Black Coffee dan Mineral Water nya atas nama Kak Debby?”.

“Iya mas. Ditaruh disini aja minumannya. Terimakasih”, jawab Debby. Sang waiter pun pergi meninggalkan mereka.

Hening beberapa saat bagi mereka berdua. Debby tampak seperti menahan kesal, sedangkan Langit sibuk memandangi layar handphone nya sambil membalasi chat yang masuk.

“Tuh kalau orang lain yang nyariin, kamu cepet banget balesnya”, sahut Debby.

“Udah deh jangan mulai lagi…” sahut Langit. Dia mengakhiri membalasi chat dan mengantongi handphone nya. “Jadi kamu nyuruh aku ke sini cuma buat ngomelin aku?”

“Aku juga gak mau ngomel mulu kok”

“Terus?”

“Aku maunya kamu kabarin aku”

“Aku kan udah kabarin kamu”

“Yaampun, Langit. Kamu kabarin aku itu setelah aku SMS dan telepon belasan kali!” suaranya meninggi lagi. Debby menghentikan kata-katanya sambil kembali mengatur irama nafasnya.

“….”

“… Beberapa minggu ini aku mikirin ini. Dan kayaknya kamu udah berubah sekarang” ujar Debby.

“Berubah? Maksudnya?” tanya Langit.

“Iya. Berubah. Kamu jadi gak perhatian lagi sama aku. Kamu udah gak pernah tuh nanyain aku lagi apa atau dimana. Kamu gak pernah lagi cerita hari-hari kamu ngapain aja. Selama ini kalaupun kita komunikasi, cuma sekedar laporan aja. Dan aku gak paham kenapa bisa berubah begini. Apa karena jabatan baru kamu di kantor bikin kamu jadi berubah?”.

“Aku gak merasa aku berubah….”

“Tapi dulu kamu tuh gak begini, Langit….”

“Memang dulu aku bagaimana?”

“Kamu itu Langit. Pria dengan senyum ramah, suka makanan pedas, dan Langit yang aku tau itu memang seorang pekerja keras tapi selalu perhatian sama aku. Bukan seorang workaholic seperti sekarang”

“….” Langit hanya diam sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. Langit tau sekali hukum percintaan ‘Wanita Jangan Dilawan’.

“Sekarang kamu berubah… Kamu kenapa sih? Udah dua bulan ini kamu hilang terus” Debby menatap Langit tajam dengan mata indahnya. “Apa aku ada salah sama kamu? Kalau ada, please let me know…”

“Gak ada kok. Kamu gak salah apa-apa” jawab Langit tenang.

“Terus kenapa akhir-akhir ini kamu susah dihubungi? Kenapa kamu juga jadi jarang ngabarin aku?”

“Aku cuma sibuk kok. Serius deh. Gak ada apa-apa” Langit berusaha meyakinkan Debby.

“Apa ada orang lain di pikiran kamu sekarang? Ada orang lain selain aku?”, suara Debby mulai bergetar sekarang. “Apa udah ada yang menggantikan aku sebagai pusat hidup kamu?”

“Gak ada kok, Debby. Yaampun aku jadi bingung bagaimana harus meyakinkan kamu. Gak ada siapa-siapa dan gak ada apa-apa. Serius deh…”

“Oke kalau begitu”, Debby menghela nafasnya. “Aku mencoba percaya sama kamu. Kalau begitu mulai sekarang, kamu harus kabari aku lebih sering; harus telepon aku lebih sering; cerita tentang aktivitas kamu lebih banyak ke aku. Setiap hari. Oke?”

“….. Iya…”, jawab Langit pelan.

“Tuh kan kamu nya aja males-malesan gitu. Aku gak percaya sama kamu”, Debby kembali cemberut.

“Iya! Iya! Aku ikutin mau kamu. Puas?!” jawab Langit setengah jengkel.

“Kamu tau kan kenapa aku begini? Aku begini itu karena aku gak mau kehilangan kamu. Aku ingin kamu dan aku bisa sama-sama terus. Karena kalau kita berdua sama-sama cuek, pelan-pelan kita bisa saling melupakan satu sama lain”.

Langit terdiam.

“Kamu Langit dan aku bumi. Kita bisa saling melengkapi. Bisa saling terikat oleh gravitasi. Dan gravitasinya itu ya komitmen kita ini”. Debby tersenyum. Bagi Langit, Debby adalah salah satu pemilik senyum termanis di dunia. Dan di saat senyum itu muncul, tentu Langit sekalipun tidak bisa menolak.

Langit pun terdiam. Semua kepenatan yang berkumpul dipikirannya perlahan larut. Terlarut oleh senyum itu. Ini membuat Langit akhirnya ikut tersenyum.

“Yaudah… Aku nurut sama kamu”, jawab Langit. Senyum masih menghiasi wajahnya.

“I trust you”, kata Debby. “Nih ya, kan kamu udah jadi Sales Manager tuh. Ibarat penjualan, sekarang itu aku udah tanda tangani kwitansi kamu. So, now you’re mine”

“Kalau kwitansinya hilang?”

“Akan aku cari sampai ketemu”

“Kalau kwitansinya kosong?”

Raut wajah Debby kembali merengut. Senyumnya pelan-pelan pudar. Ini seperti alarm akan datangnya marabahaya bagi Langit.

“Becanda kok! Becanda! hehehehe…” ujar Langit cepat.

“Kalau sampai kwitansinya kosong, ya aku rugi total” kata Debby. Nadanya serius.

Langit tersenyum kecil, “Aku akan jaga kepercayaan kamu. Trust me”.

“Aku percaya”.

Mata dan senyum mereka berbalas untuk beberapa detik. Mungkin ini adalah romansa yang beberapa waktu lalu sempat hilang dari kehidupan mereka. Dan kini kembali. Namun tidak ada yang tahu kembali untuk berapa lama.


Debby masih menangis di kamarnya. Sudah hari kedua Debby menangis terus seperti ini. Sesekali ibunda nya menghampiri dan memeluknya dari belakang. Beberapa kali juga beliau ikut menangis dan berucap pelan, “Relakan, Nak. Mungkin memang ini yang terbaik”.

Bagi Debby, mungkin ini hari-hari terburuk dalam hidupnya. Baru saja terjadi hal terburuk dari yang buruk yang pernah dia pikirkan.

Langit meninggalkannya. Langit pergi.

Sepucuk surat ditinggalkan oleh Langit sebelum kepergiannya.

Dear Debby, bumi ku.

Janji ya jangan nangis.

Disaat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah ada di tempat lain. Aku akan baik-baik. Jadi aku harap kamu juga baik-baik.

Maaf aku tidak bisa menepati janji. Karena akhirnya aku pergi meninggalkan kamu.

Memang aku rasa tidak adil untuk kamu. Maaf.

Tapi aku gak bisa bohongi diri. Aku tidak bisa melanjutkan semua ini.

 

Aku kwitansi kosong. Aku tak pernah punya rencana untuk mengisi hidupmu. Kamu menandatangani kwitansi yang salah. Harusnya bukan aku.

Aku yakin masih ada dia, seseorang yang tepat untuk kamu. Dia yang bisa kau tagih kabarnya setiap hari. Dan dia juga yang menepati janji kepadamu setiap kali.

Seperti katamu, aku Langit, kamu Bumi, dan komitmen kita adalah gravitasnya. Namun yang kamu lupa, Langit tak terikat gravitasi.

Aku beda denganmu yang bisa terikat dan nyaman dalam dekat. Aku lebih menikmati memandang dari jauh dan menjauh dari gaduh.

Kita berbeda. Maaf.

 

Dan sekarang, seperti Bumi kepada Langit, aku harap kita bisa saling mengerti. Lepaskan aku agar aku bisa meninggi; agar kamu tak lagi terbebani.

Jalani hidup yang kamu inginkan. Seperti aku menjalani kesenangan yang aku rindukan.

Aku tak sanggup membohongimu. Aku tak bisa menjadi kamu.

Akan aku jalani hidupku dengan caraku, bukan caramu. Mohon pahami ini, atau paling tidak, terima alasan ini.

 

Sekali lagi, aku minta maaf untuk semuanya.

Terimakasih untuk 2 tahun perjanjian yang kita buat. Semoga kamu tidak menyesalinya. Karena aku tidak.

Salam untuk Ibu kamu. She’s a great mom. Kamu pasti akan jadi seperti dia nanti.

 

Take care,

Langit.

Debby masih menangis. Dan entah kapan akan berhenti.

Mungkin Debby akan berhenti menangis setelah dia menerima dan memahami bahwa bukan Langit yang berubah, tapi memang mereka berbeda sedari awal.

Debby tak menyadari betapa tingginya langit, dan akhirnya terjatuh saat ingin menyentuhnya. Menyentuh Langit. Menyentuh hatinya.

Sementara Langit, entah berada dimana. Yang jelas, dia memilih jalannya sendiri.

Langit tak terikat.

End of #MenyentuhLangit.

(Ide cerita merupakan hasil dialog Wisnu Kumoro bersama Debby Permata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *