Makin lama kerja disini, gue makin kurus. Pekerjaan di sini ternyata cukup makan waktu; Gue sampe gak sempet makan apa-apa. Makan siang sering banget kelewat. Apalagi Bos impor gue, si sipit absurd – Kim Bong, juga makin menjadi jadi. Makin absurd.
“Ayo semmua issi lembbarran ini yaa”, Mister Kim memberikan kertas ke setiap orang di ruangan. Kertas itu isinya sebuah tabel kosong dan ada daftar nama karyawan di tim gue.
“Ini buat apa, Mister?”, tanya gue.
“Kammu issi jumlah pacarr kammu disittu”
“Hah??? Maksudnya???”
“Iyya. Buwat yang punya istrri atau suammi tulis jugga jumlah istrri atau suammi nya. Kan Kammu belum mennikah, jaddi tulis jumlah pacarr kammu berapa”
“Tapi buat apa disensus begini, Mister? Kok mendadak? Untuk tinjauan tunjangan karyawan atau apa?”
“Uddah issi ajja. Janggan bawel”. Mister Kim Bong berjalan pelan melanjutkan membagikan kertas ke seluruh karyawan, lalu kembali ke ruangannya.
Gue melirik ke seberang cubicle gue. Bang Henry, rekan kerja gue yang tepat diseberang cubicle gue, juga ikut melongo ngeliatin si Kim Bong.
“Bang, ini apaan sih?” kata gue sambil ngacungin kertas formulir ke arah dia.
“Gak tau gue, Nu. Buat arsip pribadinya dia kali”
“Buat apa dia ngumpulin data-data pribadi kita?”
“Atau jangan-jangan…”, Bang Hen tidak melanjutkan kata-katanya. Bikin penasaran.
“Jangan-jangan kenapa, Bang?”
“Jangan-jangan dia mata-mata Korea Utara di sini”
“……”
“Atau jangan-jangan dia sebenarnya pembunuh berantai yang psycho”
“………..”
“Atau jangan-jangan…. wah yang ini logis banget sih”
“Apa lagi, Bang?”
“Jangan-jangan dia sebenarnya naksir lo, Nu. Ini cuma modus aja biar tau lo punya pacar atau gak”
“…….. Bang, please deh….”
“Mungkin aja dia malu nanya ke lo langsung, jadi lewat formulir begitu”
“Kan lo juga dapet Bang”
“Ah yang lain cuma kamuflase. Target utamanya lo. Cieee~ Cieee~”
“Bodo amat ah, Bang”. Gue pun melipir pergi ke kamar mandi daripada melanjutkan obrolan sia-sia itu. Gue mendadak merasa perlu cuci muka. Puyeng.
Keanehan hari ini belum berhenti disitu. Feby juga aneh. Dua hari terakhir gue gak liat Feby di kantor, begitu pun hari ini. Gue telepon HP nya, gak diangkat. SMS dan chat gue pun gak dibales sama dia. Entah kenapa gak direspon. Gue jadi agak khawatir kalau dia sakit. Apalagi karena hari ini adalah hari rabu, gue makin khawatir. Rabu adalah hari dimana gue rutin bertemu Feby sepulang kantor. Rabu adalah hari dimana Hot Cappuccino dan Lemonade bisa berbincang bersama. Rabu adalah hari favorit gue beberapa bulan terakhir. Hari rabu adalah hari penting buat gue. Dan gue harap penting juga buat Feby.
HP gue bergetar. Sebuah panggilan masuk muncul di layar: Feby.
“Halo?”
“Halo, Nu. Maaf nelpon malam-malam. Udah tidur ya?”, suara Feby terdengar dari saluran telepon.
“Hai, Feby. Belum kok. Aku belum tidur. Kenapa, Bi? Kamu kemana dari hari Senin?”
“Aku lagi ada urusan yang gak bisa ditinggal, jadi aku gak masuk kantor dulu”
“Ooo gitu…”
“Nu…”
“Ya?”
“Bisa ketemu sekarang?”
“Ketemu? Sekarang?”
“Iya sekarang. Bisa?”
“Hmm… Bisa sih. Kamu dimana sekarang?”
“Ketemu di sekitar Menteng bisa? Aku lagi di Menteng”
“Yaudah aku ke sana sekarang”
“Nanti kalau udah sampai, kamu parkir di Taman Menteng aja. Telepon aku ya kalau kamu udah sampai. Nanti aku samperin kamu”
“Oke. Aku siap-siap berangkat deh ya”
“See you, Nu. Thank you…”
“Sama-sama, Feby”.
Feby menutup telepon nya. Entah kenapa perasaan gue gak enak. Gue mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Berbagai bayangan muncul di pikiran gue, mulai dari yang normal: Gue membayangkan Feby ternyata cuma ingin ketemu aja sama gue, dia kangen, dan dia ngajak ketemu mendadak. Ada juga yang agak sedih: Ternyata Feby pengen curhat atau ngasih tau kalau dia rujuk sama pacarnya. Sampai juga bayangan yang absurd: Feby ternyata agen MLM yang mendekati gue sebagai modus untuk cari downline.
Gue memacu motor bebek butut gue dengan cepat. Padahal malam ini cuaca agak dingin sehabis hujan, tapi gak terasa dingin. Gue terlalu fokus dengan apa yang kira-kira akan disampaikan Feby. Gue deg-degan.
Sesampainya di sana, gue menelpon Feby.
Panggilan pertama; Gak diangkat.
Panggilan kedua; Gak diangkat. Gue mulai khawatir.
Panggilan ketiga, akhirnya diangkat.
“Halo, Feby”
“Hei, Nu. Udah sampai?”
“Udah nih. Aku di parkiran Taman Menteng. Kamu dimana?”
“Aku di samping lapangan basket. Kamu ke sini aja”
“Okay aku ke sana. Tunggu ya”
“Okay” Feby menutup telepon.
Gue berjalan cepat menuju lapangan basket yang Feby maksud. Sampai disana, gue melihat Feby duduk sendirian di kursi di sebelah lapangan basket. Gue menghampiri dia.
“Hei, Bi”
“Hai, Nu” Feby tersenyum. “Makasih udah nyamperin aku ke sini. Maaf kalau mendadak”
“That’s okay, Feby. Kamu kemana dua hari ini?”
“Sebelum itu…” Feby mengambil sesuatu yang dia taruh di sebelahnya. A cup of coffee berlogo Teabags Coffee di cup nya. Masih terlihat hangat. “Ini buat kamu, Nu. Hot Cappucino. Aku beli ini dari cafe tempat kita seharusnya ketemu hari ini”
Gue tersenyum. Hati gue tersentuh. “Thank you, Bi. Tapi…. aku gak bawa Lemonade buat kamu… Aku gak tau kalau…”
“Iya gak apa-apa kok. Aku kebetulan abis dari sana tadi. Jadi sekalian beliin buat kamu”
“Hmmm.. okay… Jadi…. kamu kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kamu gak masuk dari awal minggu; kamu gak angkat telepon dari aku; kamu gak respon semua SMS dan chat aku… Kamu marah sama aku?”
“Enggak kok”
“Trus kenapa? Aku bikin salah ya?”
“Enggak kok, Nu. Bukan begitu” Feby tersenyum. “Malah kamu baik banget sama aku. Aku terima kasih banget sama kamu”
“Trus kenapa?”
“Nu, aku resign”
“Oooo resign…. kirain kenapa…… HAH?! RESIGN??!! KENAPA??”, gue histeris. Volume suara gue naik 50 desibel. Ekspresi muka gue pun langsung gak kekontrol lagi. Gue terlalu kaget.
“Tenang Nu… Tenang….. Istigfar….”
“Kamu kenapa resign?? Kok mendadak?”
“Aku udah ngajuin resign dari berbulan-bulan lalu sebenarnya. Diam-diam supaya gak ada yang tau. Dan akhirnya baru diproses bulan lalu. Dan per hari ini sebenarnya aku udah bebas. Udah gak kerja disana lagi”
“…. Kok kamu gak kasih tau aku?”
“Nu…”, Feby memegang tangan gue. “Sorry…. Makanya aku kasih tau kamu hari ini…”
“Hmmm… yowes… meski kamu resign, tapi aku masih bisa ketemu kamu kan? Ya kalau begitu sih, gak terlalu jadi masalah. Tiap kamu pulang kantor, nanti aku samperin aja ke kantor kamu”
“….. Nu..”
“Ya?”
“Aku besok pagi berangkat”
“Berangkat? Kemana? Kamu mau kemana?”
“Aku ke Bali besok pagi”
“Ke Bali? Kamu mau liburan?”
“Bukan. Ya semacam itu…”
“Oooo pulang nya kapan?”
“Nu…”, Feby mengabaikan pertanyaan gue. “Ikut aku yuk. Ikut aku ke Bali”
“Hah? Ke Bali?”
“Iya ke Bali. Besok pagi sama aku”
“Ya aku gak bisa lah, Bi. Kan besok aku harus ngantor. Aku juga belum ijin sama orang rumah. Belum ada persiapan untuk pergi juga. Dan kamu kan tau, kalau aku pergi mendadak, semua kerjaan aku harus dilimpahkan ke temen-temen aku dan itu butuh koordinasi dulu”
Feby terdiam. Wajahnya seperti tanpa ekspresi namun gue tau banget kalau dia sedang berpikir keras di dalam kepalanya. Kami saling diam untuk beberapa saat kemudian, hingga Feby akhirnya tersenyum kecil dan menatap gue.
“Kamu baik-baik ya selama aku tinggal”
“I will, Feby”. Gue tersenyum, “Please come home soon”.
Feby tersenyum, tanpa keluar kata-kata apapun dari mulutnya. Malam itu kami habiskan untuk duduk berdua di taman itu. Bergandengan tangan. Tanpa kata. Udara malam itu terasa begitu segar dan menenangkan. Di malam itu lah gue merasa bahwa gue jatuh cinta; di malam itu pula lah gue merasa semua akan baik-baik saja.
Tidak lama setelah itu Feby berpamitan untuk pulang. Dia bilang malam itu dia menginap di rumah neneknya di sekitar Setiabudi. Gue menawarkan untuk mengantarkan, namun dia menolak. Dia bilang, “Nanti kamu kemalaman. Sudah kamu pulang aja. Nanti aku kabari kalau sudah sampai”. Akhirnya dia pun pergi meninggalkan gue. Dan kabar yang dia janjikan ternyata tidak pernah sampai ke gue malam itu.
Begitu pun hari-hari setelahnya, hingga memasuki bulan kedua sejak pertemuan itu. Feby menghilang. Entah benar-benar menghilang, atau hanya sengaja menghilang dari hidup gue. Sudah dua bulan sejak bertemu Feby, tak ada kabar apapun lagi darinya.
Gue udah coba telepon dia, tapi nomornya sudah tidak bisa dihubungi. SMS dan chat pun semuanya tidak direspon. Semua akun social media nya pun seperti tidak lagi aktif. Tidak ada aktivitas baru yang dibuat. Tidak ada foto yang diunggah. Tampaknya kali ini dia benar-benar ingin menghilang. Bahkan dari gue.
Suatu siang di cubicle gue. Bang Henry menghampiri gue.
“Nu”
“Ya, Bang Hen. Kenapa Bang?”
“Sibuk gak?”
“Gak kok Bang. Tinggal masukin beberapa image ke slide presentasi ini, setelah itu selesai. Kenapa Bang?”
“Oooo yaudah lo lanjutin dulu aja. Nanti kalau udah selesai, temuin gue di Pantry ya. Ada yang mau gue omongin”
“Okay Bang. Duluan aja ke Pantry. Nanti gue nyusul”
“Okay. Thank you, Nu”
Bang Henry pergi terlebih dahulu ke Pantry; gue menyusul lima menit kemudian. Sesampainya di Pantry, Bang Henry rupanya udah nunggu gue. Raut wajahnya agak berbeda dari biasanya. Entah mau pinjam uang atau jual barang. Gue hanya menduga-duga.
“Kenapa Bang?”, gue duduk di sebelahnya.
“Nu, sorry kalau gue lancang atau gimana. Gue cuma mau mastiin aja. Ya bisa dianggap sebagai kepedulian sebagai kakak di tempat kerja deh”
“Ada apa sih Bang? Lo mau jual apaan?”
“Yeee~ Gue bukan mau jualan!”
“Nawarin MLM?”
“Bukan!”
“Asuransi?”
“Bukan!”
“Ooooo minjem duit ya?”
“BUKAN!”
“Ooooo okay okay… terus apa Bang?”
“Hmmm…” raut muka Bang Henry mendadak serius. “Are you okay, Nu?”
“Emang gue kenapa Bang?”
“Sejak Feby gak ada disini….” kata-kata Bang Hen terhenti sejenak. “… lo jadi agak murung”
“Oh itu….”. Gue paham arah pembicaraan Bang Henry. Gue terdiam.
“Sebelumnya gue minta maaf gak langsung ngasih tau kalau dia udah punya pacar. Tapi gue juga kaget kalau ternyata setelah putus pun dia tetap pergi”
“…..”
“Kalau lo mau cerita, cerita aja ya Nu. Lo udah kayak adek gue. Jadi manfaatkan lah peran gue sebagai kakak. Curhat aja gak apa-apa kok. Biar lo lega”
“Hmmm…. I’m okay, Bang. Really. I’m okay. Gue gak mikirin hal itu kok. Santai. Hehehe…”, gue berbohong. Dan tampaknya Bang Henry tau kalau gue bohong. Dia hanya membalas dengan senyum.
“Yaudah kalau lo belum mau cerita ke gue. Gue cuma mau bilang ke lo: If you really love her, you’ve gotta set her free. And if she’s returns in kind, you’ll know she’s yours”
“….. Heaven Knows?”
“Oooh lo tau lagu itu juga toh? Ternyata lagunya populer juga ya. Gue pikir kagak. Ya pokoknya gitu deh. Lo harus tabah. Lo harus kuat…”
“… iya Bang”
“Lo harus kayak gue. Tabah, kuat, tampan”
“…..”
Semua kata-kata di kepala gue hilang. Gue gak tau mau ngomong apa lagi sekarang. Seakan otak gue membeku. Tapi apa yang Bang Henry bilang ada benarnya. Bukan, bukan yang bagian “tampan”. Tapi tentang: I’ve gotta set her free.
Feby begitu bebas. Mimpi kami sama-sama besar, tapi tujuannya beda. Dia gak bisa dibatasi; Gak mau dibatasi, lebih tepatnya. Sedangkan gue selama ini terbiasa hidup dengan batasan-batasan yang kadang gue bikin sendiri. Ngobrol sama dia selama ini bikin gue makin ngerasa bahwa dia terlalu sulit untuk dikontrol, atau gue yang terlalu pengecut untuk mencoba banyak hal.
Ya. Mungkin gue yang terlalu pengecut mencoba banyak hal.
Singkat cerita, tepat 3 bulan setelah menghilang, Feby mengunggah sebuah foto di Facebook nya. Foto pertama yang dia unggah setelah sekian lama menghilang. Di foto itu, Feby berada di sebuah pelabuhan yang entah berada di negara mana, kemungkinan berada di kawasan eropa. Dia berpose di pinggir laut dengan mengenakan jacket yang sama dengan yang sering dia kenakan di kantor. Dia belum banyak berubah. Hanya saja senyumnya begitu bahagia. Gue gak pernah melihat senyumnya sebahagia itu sebelumnya. Bahkan ketika bersama gue. Dan caption foto itu: New me. True me. I don’t wanna live in Paper Town. I don’t wanna live a Paper Love.
Hati gue antara hancur dan juga bahagia melihat foto itu. Gue senang karena akhirnya dia bisa menjadi dirinya sendiri; mencari hal yang ingin dia cari; untuk mengejar sesuatu yang benar-benar dia inginkan. Bahkan rela meninggalkan apa yang sudah tertata rapi, demi sebuah mimpi yang tidak tentu bentuknya akan seperti apa, tapi terasa setimpal.
Dan gue sadar kalau gue gak pernah ada dalam hatinya. I’m a Paper Love for her. Gue seperti kota fiktif di peta hatinya. Tidak pernah ada sedari awal. Hubungan yang awalnya dipikir nyata, tapi ternyata fiktif. Cinta yang awalnya dipikir ada, tapi ternyata gak pernah ada.
Kedua kali dalam hidup gue mengalami ini. Dulu karir musik gue, sekarang Feby. Tapi gue udah berjanji sama diri gue sendiri untuk lebih kuat kali ini. Gue pernah memulai dari awal. Kali ini gue harus bisa merelakan.
Tapi gimana pun, gue kangen. Entah karena kangen dia, atau hanya kangen seseorang untuk bisa gue kagumi seperti gue mengagumi dia. Tapi yang gue tau: I missing someone to miss. I missing someone to be here. I miss her.
Take care there, Lemonade.
And this is a song about her: #MissingSomeoneToMiss
I know the guitar and vocal is out-of-tune. Like my feeling to her: out-of-tune.
End of #paperlove.